Karena Hidayah itu Begitu Indah ...

Bismillahi minal Awwali wal Akhiri.....
Allaahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad. Allahumma shalli 'alaihi wa sallim wa adzhib hazana qalbiy fin-dunya wal-aakhirah.............

Bismillahir-Rahmanir-Rahim:
Seorang teman menceritakan pengalamannya, “Ini ceritaku tentang adikku Nur Annisa, gadis yang baru beranjak dewasa namun agak Bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun, perkembangan dari tingkah lakunya agak mengkhawatirkan ibuku, banyak teman cowoknya yang datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai seorang guru ngaji. Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul pertengkaran-pertengkaran kecil diantara mereka. Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang agak keras “Mama coba lihat dech, tetangga sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya nggak beda ama kita, malah teman-teman Ani yang disekolah pake jilbab dibawa om-om, sering jalan-jalan, masih mending Ani, walaupun begini gini Ani nggak pernah mo kaya gituan” bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis, lirih terdengar doanya “ Ya Allah, kenalkan Ani dengan hukum Engkau.”

Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga baru yang baru pindah. Satu keluarga dimana mempunyai enam anak yang masih kecil-kecil. Suaminya bernama Abu khoiri, (entah nama aslinya siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.

Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas-desus mengenai istri dari Abu khoiri yang tidak pernah keluar rumah, hingga dijuluki si buta, bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh Adikku, dan dia bertanya sama aku “kak, memang yang baru pindah itu istrinya buta, bisu dan tuli?”…trus aku jawab sambil lalu” kalau kamu mau tau,datangi aja langsung rumahnya”. Eehhh… tuh anak benar-benar datang kerumahnya. Sekembalinya dari rumah tetanggaku, kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi…entah apa yang terjadi…?

Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk di buatkan Jilbab…yang panjang lagi…rok panjang, lengan panjang… aku sendiri jadi bingung… aku tambah bingung campur syukur kepada Allah SWT karena kulihat perubahan yang ajaib… yah kubilang ajaib karena dia berubah total… tidak banyak lagi anak cowok yang datang kerumah atau teman-teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan… kulihat dia banyak merenung, banyak baca-baca majalah islam yang biasanya dia suka beli majalah anak muda kayak gadis atau femina ganti jadi majalah-majalah islam, dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku… tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur’annya, sholat sunatnya… dan yang lebih menakjubkan lagi… bila teman ku datang dia menundukkan pandangan… Segala puji bagi Engkau ya Allah SWT jerit hatiku…

Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan minyak KALTEX. Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku memanggilku untuk pulang ke rumah (rumahku di madiun). Di pesawat tak henti-hentinya aku berdoa kepada Allah SWT agar Adikku diberi kesembuhan, namun aku hanya berusaha… ketika aku tiba di rumah… didepan pintu sudah banyak orang…tak dapat kutahan aku lari masuk kedalam rumah… kulihat ibuku menangis …aku langsung menghampiri dan memeluk ibuku… sambil tersendat-sendat ibuku bilang sama aku “Dhi, adikkmu bisa mengucapkan kalimat Syahadah diakhir hidupnya “… Subhanallah. Tak dapat kutahan air mata ini….

Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary diatas mejanya… diary yang selalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup,,, kemudian kubuka selembar demi selembar… hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul dihatiku… perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu khoiri… disitu kulihat Tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku… isinya seperti ini :
-Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas airmata)-

Annisa : aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari)… ibu… wajah ibu sangat muda dan cantik.

Istri tetanggaku : Alhamdulillah …sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.
Annisa : tapi ibu kan udah punya anak enam …tapi masih kelihatan cantik.

Istri tetanggaku : Subhanallah… sesungguhnya keindahan itu milik Allah SWT dan bila Allah SWT berkehendak… siapakah yang bisa menolaknya

Annisa : Ibu… selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku… namun aku selalu menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam-macam dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak memakai jilbab… hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab… menurut ibu bagaimana?!?

Istri tetanggaku : duhai Annisa, sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki,segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita…

Annisa : tapi yang kulihat banyak wanita jilbab yang kelakuannya nggak enak…

Istri Tetanggaku : Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami

Annisa : apa itu hakekat jilbab ?

Istri Tetanggaku : Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin, hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan muhrim kamu, hijab lidah kamu dari berghibah dan kesia-siaan… usahakan selalu berdzikir kepada Allah SWT, hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat, hijab hidungmu dari mencium-cium segala yang berbau busuk, hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh,hijab kaki kamu dari melangkah menuju maksiat, hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu, hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT, bila kamu sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu… itulah hakekat jilbab.

Annisa : ibu… aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab… mudah-mudahan aku bisa pakai jilbab… namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya???

Istri tetanggaku : Duhai Nisa, bila kamu memakai jilbab itu lah karunia dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha Pemberi Rahmat, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan-amalan jilbab hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT… Duhai nisa,,, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan.. ketika ditiup terompet yang kedua kali… pada saat roh-roh manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan, ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita, ketika seluruh nabi ketakutan, ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya, sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada dialam ini, ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing-masing hanya memperdulikan nasib dirinya,dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa-rupa bentuk manusia bermacam-macam tergantung dari amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan,bada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis… menangis karena hari itu Allah SWT murka… belum pernah Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu… hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah SWT dipadang mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Hisab… Duhai Annisa,,, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung. Allah SWT…

Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat berhenti dan banyak tetesan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya… Subhanallah … kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan : kemudian kulihat tulisan kecil di bawahnya buta, tuli dan bisu… wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah SWT, wanita tidak pernah berbicara ghibah dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia.

Tak tahan airmata ini pun jatuh… semoga Allah SWT menerima Adikku disisinya… Amiin Subhanallah … aku harap cerita ini bisa menjadi ikhtibar bagi kita semua…
Ditulis oleh : Kang Alfan


Semoga Bermanfaat ...

Marilah Setiap detak-detik jantung.., selalu kita isi dengan..
Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini...


Subhanakallahumma wabihamdika AsyaduAllahilaha illa Anta Astagfiruka wa'atubu Ilaik ... Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sumber :http://www.oaseimani.com/2010/05/karena-hidayah-itu-begitu-indah/
Read More...

APAKAH SESUNGGUHNYA MAKNA HIDUP INI ...???

Bismillahi minal Awwali wal Akhiri.....
Allaahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad. Allahumma shalli 'alaihi wa sallim wa adzhib hazana qalbiy fin-dunya wal-aakhirah.............

Bismillahir-Rahmanir-Rahim:
Sahabat, seringkah anda dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti ‘untuk apa semua ini? Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?’ pun mulai muncul di hati anda.

Sebenarnya, Allah setiap saat ‘memanggil-manggil’ kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya ‘menoleh’ kepada Allah. Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan, panggilan-Nya ini.

Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan ‘Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya?,’ dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari ‘Al-Haqq’? Allah, percayalah, akan selalu menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.

Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

Bentuk ‘pancingan’ semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah), yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa, misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha raja yang terbesar sepanjang sejarah, Sethi I. Hidup dalam kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu ‘galau’ ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayah tirinya Sethi I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayah tirinya itu.

Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan, mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu potensi pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah ‘potensi mencari Allah’ yang Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan pada kita semenjak lahir.

Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari. Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah, membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja, tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola yang sama dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.

Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri.

Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia ‘menjerit’ ingin mencari Al-Haqq, dan ‘rembesannya’ kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan.

Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya.

Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti datang ke pengajian bukan dengan niat mencari-Nya tapi hanya untuk melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja: ketika sakit kepala, cari obat. Kegelisahan hilang, dia pun pergi lagi..

Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya: “Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di Qur’an!!” Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia menjangkau makna Qur’an?

Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur’an benar, mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur’an seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur’an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur’an.

Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/ Al-mutahharuun, (QS 56:77-79).

[Q.S. 56] “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun (79).”

Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah disucikan, sehingga makna qur’an telah terbentang begitu jelas dihadapannya? Jika demikian, apa implikasi pernyataan : “Semua jawaban telah ada di Qur’an” baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri dengan membaca terjemahan qur’an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia telah mendapatkan maknanya?

Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak ingin mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya ‘jeritan jiwa’ tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak kita menangis?

Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun, sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi.

Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.

Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air kegalauan: “Siapa diriku sebenarnya?”.

Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta’ala, yaitu Nabi Syu’aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya.

Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya “arafa nafsahu”, untuk “arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri”. Dan dengan bimbingan Syu’aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah ‘arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu.” (Shahih Bukhari no. 2026)

Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk minta bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari Allah, mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan “Siapakan aku? Untuk apa aku diciptakan?” harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda memang telah benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk menjemput anda.

“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ’sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).

Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.

Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’.

‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng- ‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal– perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal: “Awaluddiina ma’rifatullah”, Awalnya diin adalah ma’rifat (meng-’arif-i) Allah.


Marilah Setiap detak-detik jantung.., selalu kita isi dengan..
Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini..

Subhanakallahumma wabihamdika AsyaduAllahilaha illa Anta Astagfiruka wa'atubu Ilaik ... Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sumber : http://suluk.blogsome.com/
Read More...

Dzikir... oh Dzikir...

Bismillahir-Rahmanir-Rahim:
Dzikirlah yang kami amalkan....
Hati kami jadi tenang...
Walau dimusuhi oleh setan....
Hati kami takkan goncang...

Maha Agunglah Asma-Nya.....
Maha besarlah kasih Nya...
Ahli dzikir kepada-Nya....
Paling dicinta oleh Dia....

Mati dalam husnul khotimah...
Harapan insan beriman...
Banyak-banyaklah dzikirullah...
Agar tetap dalam iman...

Tanda orang cinta Allah...
Cinta kepada dzikirullah...
Siang dan malam dzikirullah....
Allah...Allah...Allah...Allah......
Tiada henti dan terputus....
Hanyut dalam cinta-Nya....

Assalamu'alaikum

Dipandang dari segi sains (pengetahuan lintas sekte-sekte aliran dalam tasawuf Islam, dzikir dinilai sebagai salah satu metode khas Islam untuk mencapai suasana tertentu dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

Secara umum, dzikir dilakukan dengan berulang-ulang mengucapkan salah satu dari: Allah atau salah satu dari Asma'ul husna, la illaha ilallah, la haula wa la quwwata illa billah, surat-surat pendek dari al-Qur'an dll. Semuanya bernuansa sama, yaitu mengingat Allah dengan segala Sifat-sifat-Nya. Pengucapan dilakukan dengan suara keras, atau hanya di dalam hati. Sambil mengulang-ulang dzikir itu, orang ada yang duduk tenang bersila dalam posisi (postur) tertentu, dengan atau tanpa disertai pengaturan napas. Ada kalanya, dzikir dilakukan dengan gerakan anggota tubuh tertentu, bahkan dengan gerakan-gerakan bela-diri, atau tarian dan musik [dilakukan oleh beberapa aliran sufi di Mesir dan Turki]. Pemusatan pikiran sangat diperlukan dalam dzikir.

Saya dapat menceritakan lebih banyak keragaman cara dzikir, tetapi yang saya maksud disini ialah sekedar membeberkan adanya keragaman yang tak terhitung, jangan sampai di antara kita ada fanatisme bahwa hanya ada satu cara yang baik. Seorang mursyid bisa saja menerapkan metode yang berbeda pada murid yang berlainan. Ini adalah karena tiap orang itu spesifik; bagi orang tertentu, baginya ada metode yang lebih cocok. Nabi sendiri mengajarkan dzikir dengan suara keras kepada sebagian sahabatnya, dan dzikir tak bersuara kepada sahabat lainnya.

Fungsi dzikir adalah untuk memusatkan perhatian kepada satu hal saja, yaitu keberadaan Allah. Pemikiran atau bayangan-bayangan selain Allah harus dihilangkan. Dilakukannya perbuatan lain selain pengucapan, adalah sekedar untuk membantu pemusatan (penyatuan dengan dzikir), hingga pada akhirnya kita dapat mencapai keadaan ekstasi. Dalam keadaan ini, panca-indera kita mati beberapa saat, dan kita mulai dapat "melihat" kebenaran dari Allah.

Dzikir berfungsi pula sebagai genderang peringatan yang selalu ditabuh keras-keras di dalam hati, agar ketika kita memasuki ekstasi, kita tidak tersasar atau salah masuk. Dzikrullah menuntun hati agar tidak terlepas dari jalur menuju Allah.

Dzikrullah perlu dijadikan kebiasaan. kalau kita melakukannya di setiap saat, ketika berdiri, berjalan, duduk, tidur (!), ketika bekerja, ketika istirahat, ketika makan, minum dll. Jika kita membiasakannya, dzikir itu akan terus berlangsung dengan sendirinya meskipun kita tidak menyadarinya. Tetapi itu semua hanya sekedar hasil olah pikir dari pengalaman dan bacaan. Benar-tidaknya, wallahu a'lam bish shawab.

Ku terlena dalam dekapan cinta....
Ku hembus nafas ku pelan-pelan...
Tuk mengungkap keagungan dan keindahan-Mu...
Darah mendidih...
Badanku gemetar...
Ketika Kalimat-Mu dilanturkan...
Sang penguasa cipta....
Aku tak dapat mambandung lautan kebahagiiaan...
Air mataku terus mengalir...
Bersama kalimah-Mu...
Cintaku hanya untuk-Mu...
Cintaku abadi pada-Mu..
Ku tinggalkan segala hawa nafsuku...
Untuk menembus tabir-tabir kasih-Mu...
Dzikir yang selalu menyelimuti jiwaku...
Dapatkah aku meraih cinta-Mu...
Dengan lumuran dosa - dosaku...
Dapatkah aku berdzikir tuk menjadi kekasih-Mu...
Dengan tanganku yang kotor....
Dapatka aku melihat keagungan-Mu...
Dengan kedua mataku yang penuh kemaksiatan...


Semoga bermanfaat dan barokah.....


Vicky
Halaqah Sirrul Barokah
Read More...

Mendidik Anak ala Rasulullah SAW

Banyak orangtua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan agama pada anak-anaknya sehingga mereka hidup tanpa tuntunan. Padahal agama memberikan panduan lengkap mendidik anak.
Anak ibarat kertas putih, yang bisa ditulis dengan tulisan apa saja. Peran orangtua sangatlah vital. Karena melalui orangtualah, anak akan menjadi manusia yang baik atau tidak.

Rasulullah SAW, sebagai teladan paripurna, telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik dan mempersiapkan anak. Dan hal yang paling penting adalah keteladanan dalam melakukan hal-hal yang utama. Inilah yang harus dilakukan orangtua. Bukan hanya memerintah dan menyalahkan, tapi yang lebih penting adalah memberikan contoh konkret. Secara simultan hal itu juga harus ditopang oleh lingkungan, pergaulan, dan masyarakat.

Pendidikan Islam benar-benar telah memfokuskan perhatian pada pengkaderan individu dan pembentukan kepribadian secara Islami. Semua itu dilakukan dengan bantuan lembaga-lembaga pendidikan Islam di dalam masyarakat tempat ia tinggal. Dan lembaga pendidikan Islam paling dini adalah orangtua dan keluarga, yang berperan sebagai madrasah pertama dalam kehidupan individu.
Selain itu juga masjid, sebagai lembaga agama yang berperan mendidik individu dalam meningkatkan kualitas iman kepada Allah SWT dan menumbuhkan perilaku baik di dalam dirinya. Juga sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang berperan membekali individu dengan keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki dalam kehidupan ini.

Seorang anak menjalankan seluruh kehidupannya di dalam lingkungan keluarga, maka keluarga sangat bertanggung jawab dalam mengajari anak tentang berbagai macam perilaku Islami. Keluarga juga bertanggung jawab untuk membekali anak dengan nilai-nilai pendidikan sosial yang baik.

Yang harus diperhatikan dan sangat penting dalam kehidupan anak yaitu pendidikan aqidah, lalu pendidikan rukun iman, pendidikan ibadah, dan pendidikan akhlaq. Sangat penting diajarkan kepada anak bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang mempunyai akhlaq yang mulia. Dan itu juga ditopang dengan contoh yang mereka temukan di dalam keluarga dan lingkungan.

Setiap anak muslim hendaknya diajari untuk selalu berakhlaq baik, seperti sikap ihsan, amanah, ikhlas, sabar, jujur, tawadhu, malu, saling menasihati, adil, membangun silaturahim, menepati janji, mendahulukan kepentingan orang lain, suci diri, dan pemaaf.

Akhlaq yang baik merupakan fondasi dasar dalam ajaran Islam. Dan akhlaq yang baik diperoleh dengan berjuang untuk menyucikan jiwa, mengarahkannya untuk berbuat , dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Oleh karena itu perbuatan ibadah tidak lain merupakan sarana untuk mencapai akhlaq yang baik. Dalam hal ini Rasulullah SAW adalah contoh yang paling baik, teladan yang paripurna, dunia akhirat.

Allah SWT berfirman; “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al Qalam:4).

Rasulullah SAW bersabda; “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq.” (HR Al-Bukhari).

• Ihsan
Ihsan adalah perbuatan manusia dalam melaksanakan seluruh ibadahnya secara baik dan menjalankannya secara benar. Perbuatan ihsan juga terdapat dalam bentuk interaksi dengan siapa pun makhluk Allah SWT. Ihsan mempunyai beberapa pengertian: Bersungguh sungguh dalam belajar dan profesional dalam bekerja. Membalas keburukan orang-orang yang berlaku salah dengan kebaikan atau menerima permintaan maaf dari mereka. Menjauhkan diri dari perilaku balas dendam dan memendam amarah (Setiap anak didik harus belajar memaafkan orang lain dan memberikan nasihat yang baik dengan penuh hikmah). Mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW dalam memiliki nilai moral yang tinggi dan menjadikannya contoh utama dalam kehidupan ini.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (OS An-Nahl: 90).

Rasulullah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat balk dalam berbagai hal. Seandainya kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik; dan seandainya kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya salah seorang di antara kalian mempertajam mata pisaunya dalam membunuh binatang sembelihannya.” (HR Muslim).



• Amanah
Amanah adalah menyampaikan hak hak kepada orang yang memilikinya tanpa mengulur-ulur waktu. Sikap amanah dalam dunia ilmu pengetahuan berarti belajar dengan tekun dan rajin, sedangkan sikap amanah dalam berinteraksi dengan sesama manusia adalah dengan menjaga rahasia-rahasia mereka.
Sebelum Rasulullah SAW menjadi nabi, masyarakat Jahiliyah yang hidup di sekitar Rasulullah SAW selalu menjuluki beliau dengan kata-kata Al-Amin, “orang yang terpercaya”. Itu karena para rasul memang memiliki sikap amanah, begitu pula dengan hamba-hamba Allah yang shalih.

Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.”

Rasulullah SAW bersabda, “Jadilah kalian orang yang amanah bagi orang orang yang telah mempercayaimu, dan janganlah kalian mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR Daraquthni).



• Ikhlas
Seorang anak harus diajari untuk berbuat ikhlas, baik dalam melaksanakan pekerjaannya maupun proses belajarnya. Semua itu harus mereka laksanakan dengan ikhlas, demi mendapatkan ridha Allah SWT. Jangan sampai perbuatan tersebut dilandaskan pada sifat munafik, riya’, atau hanya mendapatkan pujian dari orang-orang.



• Sabar
Seorang anak harus belajar bahwa kesabaran adalah mendapatkan sesuatu yang tidak disenangi dengan jiwa yang lapang dan bukan dengan kemarahan atau keluhan. Sikap sabar dapat termanifestasi melalui sikap, baik dalam melaksanakan ibadah maupun muamalah, serta menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.

Oleh karena itu seorang mualim yang sabar akan menerima hal buruk dan siksaan terhadap dirinya dengan sikap yang tetap sabar.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga di perbatasan negerimu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran: 200).

Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman, “Sesugguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS Az-Zumar: 10).

Rasulullah SAW bersabda, “Betapa menakjubkannya perkara orang-orang beriman, segala perkara mereka baik, dan hal itu tidak didapatkan kecuali oleh orang beriman. Apabila mendapatkan kebahagiaan, ia akan bersyukur dan itu adalah hal yang terbaik bagi dirinya. Begitu pula apabila ditimpa kesedihan, ia akan bersabar dan hal itu adalah yang terbaik bagi dirinya.” (HR Muslim).



• Jujur
Dalam menjalankan ibadah, muamalah, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, seorang mualim hendaklah berlaku jujur,hanya untuk mengharapkan ridha Allah SWT.

Seorang anak hendaknya diajarkan untuk memiliki sifat jujur, baik di dalam perkataan maupun perbuatannya, sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulutnya sesuai dengan realitas yang ada. Tidak berbohong di hadapan orang lain, karena sifat bohong adalah satu ciri orang munafik.

Sifat jujur akan mendatangkan keberkahan dalam rizqi serta dapat membantu seseorang mualim untuk meraih nurani yang tenteram dan jiwa yang damai.

Allah SWT berfirman dalam AlQuran, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu, dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya.” (QS AlAhzab: 23).

Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kalian berlaku jujur. Karena kejujuran akan menunjukkan seseorang pada perbuatan baik, dan perbuatan baik akan membawa seseorang kepada surga.
Seseorang yang memiliki sifat jujur dan terus mempertahankan kejujurannya, di sisi Allah akan tercatat sebagai orang yang jujur. Dan hendaknya kalian menjauhkan diri dari sifat bohong. Karena kebohongan akan menyeret seseorang pada dosa, dan dosa akan mengantar manusia ke pintu neraka. Seseorang yang berbuat bohong dan masih terus melakukan kebohongan, di sisi Allah akan tercatat sebagai pembohong.” (HR Muslim).



• Tawadhu’
Seorang anak hendaknya diajari bahwa tawadhu’ atau rendah hati hanya dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari sifat sombong di hadapan hamba Allah yang lain. Jalinlah hubungan dengan fakir miskin, karena doa mereka mustajab. Dan bergaullah dengan baik dengan siapa saja.

Usahakan untuk menjauhkan diri dari sikap angkuh, mengagung-agungkan diri, baik dengan memperlihatkan harta, mahkota, maupun ilmu pengetahuan. Jangan suka dengan puji-pujian yang berlebihan atau penghormatan di luar batas.

Salah satu sikap tawadhu’ Rasulullah SAW, beliau sangat tidak suka orang-orang memberikan pujian kepada beliau atau berdiri untuk memberi penghormatan kepada beliau. Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga tidak pernah membedakan diri beliau dengan para sahabat beliau sehingga beliau pun mengerjakanapa yang para sahabat kerjakan. Rasulullah pun terbiasa bercanda dengan para sahabat, mendatangi mereka, bermain dengan putra-putra mereka, dan memulai untuk mengucapkan salam atau menjabat tangan para sahabat terlebih dahulu.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Furqan: 63, “Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan, Yang Maha Penyayang, adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati; dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.”

Begitu juga dalam firman lainnya. “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Qashash: 83).



• Malu
Seorang anak hendaknya diajari bahwa malu adalah bagian dari iman, yang dapat mendekatkannya pada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan.

Sikap malu akan mencegah seorang mualim untuk melakukan perbuatan dosa. Selain itu juga akan menjadikan seorang mualim untuk berbicara benar dalam berbagai kondisi. Rasulullah SAW adalah orang yang,sangat pemalu, sehingga beliau tidak pernah berbicara kecuali yang baik-baik saja.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa tidak memiliki rasa malu, maka ia tidak memiliki keimanan.” (HR Bukhari Muslim).



• Saling Menasihati
Seorang anak hendaknya diajari bahwa nasihat adalah perkataan yang tulus, terlepas dari maksud-maksud tertentu ataupun hawa nafsu. Maka seorang mualim hendaknya memberikan nasihat kepada mualim lainnya. Karena nasihat dapat melepaskan seseorang dari api neraka. Sering memberi nasihat juga bagian dari akhlaq para nabi dan rasul.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ashy ayat 3, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan aural shalih dan nasih-menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Rasulullah SAW juga bersabda, “Agama adalah sebuah nasihat.”

Para sahabat bertanya, “Bagi siapa, wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, “Bagi (milik) Allah, para rasul, dan seluruh kaum mualimin.” (HR Muslim).



• Adil
Seorang anak haruslah diajari bahwa keadilan adalah sifat utama, yang mana seseorang menempatkan sesuatu pada tempatnya. la haruslah menjunjung tinggi sifat kebenaran dan membela mereka yang terzhalimi.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan….” (QS An-Nahl: 90).

Rasulullah SAW bersabda, “Orang orang sebelum kalian telah hancur; karena apabila mereka yang terhormat mencuri, mereka akan membiarkannya, tetapi apabila ada orang lemah yang mencuri, mereka menerapkan hukum kepadanya.” (HR Al-Bukhari).



• Membangun Silaturahim
Silaturahim adalah berbakti dan berbuat baik kepada orangtua serta kaum kerabat. Di samping itu juga menjaga hak-hak para tetangga dan orangorang lemah. Semua itu dilakukan untuk mempererat ikatan hubungan di antara keluarga dan untuk menumbuhkan rasa cinta di antara manusia. Yang termasuk dalam bagian silaturahim adalah berlaku baik dan sopan ketika bertemu dengan kaum kerabat, serta menyambut kedatangan mereka dengan suka cita.

Silaturahim juga dapat diartikan sebagai mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui cara mengikatkan tali kekeluargaan, menyambut kedatangan para tetangga dengan suka cita, dan menampakkan wajah senang ketika bertatap muka dengan mereka.

Tidak hanya itu, silaturahim juga dapat termanifestasi melalui menjenguk orang yang sakit, dan membantu meringankan beban mereka.

Allah SWT berfirman, “Dan orangorang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Ar-Ra’d: 21).



• Menepati Janji
Tanamkan rasa percaya kepada anak bahwa menepati janji yang telah dibuatnya merupakan salah satu tanda orang beriman, dan Allah SWT menyukai hal itu. Kalau ia tidak mampu menepatinya, ajarkan pula untuk minta maaf.

Menyalahi janji termasuk dalam kategori perbuatan hina, karena perbuatan itu hanya akan menghilangkan kepercayaan dan rasa hormat.

Tidak hanya itu, perbuatan tersebut juga akan melahirkan kemurkaan Allah. Allah SWT berfirman, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra: 34).



• Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Ikhlas berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain termasuk dalam perbuatan-perbuatan yang utama dalam ajaran Islam. Sikap ini terimplementasi dalam bentuk mencintai orang lain, melayani kebutuhan kaum mualimin, berkorban demi kepentingan mereka, dan memiliki keyakinan bahwa ikatan persaudaraan dalam Islam dan mendahulukan kepentingan sesama saudara mualim merupakan akhlaq mulia.

Oleh karena itu marilah bersegera melaksanakan perbuatan wajib demi mendapat ridha Allah SWT tanpa harus menunggu ucapan terima kasih. Dan mulailah mendahulukan kepentingan orang lain, karena sifat itu dapat membebaskan seorang mualim dari sifat egois.

Allah SWT berfirman, “Dan mereka mengutamakan (orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan spa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung.” (QS Al-Hasyir: 9).

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah beriman seseorang sebelum mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”

Mari kita ajarkan kepada anak-anak kita untuk berkasih sayang dengan sesama, terutama kepada orang-orang lemah dan tertindas. Tidak merendahkan atau menyakiti, apalagi mencela mereka. Hendaklah kita selalu bersikap lemah lembut kepada makhluk Allah yang lain. Kasih sayang akan mendatangkan cinta dan menyatukan hati. Sikap keras hanya akan memisahkan hati dan menumbuhkan kebencian.

Marilah kita membiasakan diri untuk meminta maaf kepada orang lain, memberikan pertolongan dan manfaat untuk sesama dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan.

Allah SWT berfirman, “Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan sating berpesan untuk berkasih sayang….” (QS Al-Salad 17).

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa tidak mengasihi, maka tidak akan dikasihi.” (HR Bukhari Muslim).



• Suci Diri
Islam adalah agama yang mengajarkan kebersihan. Islam sangat menganjurkan kepada setiap individu mualim agar selalu menjaga kebersihan badan, pakaian, dan tempat tinggal masingmasing.

Seorang mualim hendaknya menyucikan diri dari najis dan kotoran yang menempel pada pakaian atau badan, karena ketika menghadap Allah SWT seseorang diharuskan bersuci. Ajaran Islam menganjurkan mempergunakan pakaian yang bersih dan yang terbaik untuk bersujud menghadap Allah SWT.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu, dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki; dan jika kamu junub, mandilah.” (QS AI-Maidah: 6).



• Pemaaf
Sifat utama lain yang kita ajarkan kepada anak-anak adalah murah hati, pemaaf, dan berani karena benar.



• Pengetahuan ihwal Akhlaq yang Buruk
Kita juga harus memberi tahu kepada anak-anak kita ihwal akhlaq yang buruk. Diharapkan dengan pengetahuan itu anak-anak bisa menghindar dari hal tersebut.

Sifat yang jelek itu seperti ghibah atau ngerumpi, yakni membicarakan keburukan-keburukan saudaranya sesama mualim dan orang yang dibicarakan itu tidak ada di hadapannya. Perbuatan ghibah itu bisa dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat, ataupun sindiran.

Kemudian namimah, yaitu perbuatan seseorang yang menukil perkataan seseorang dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain dengan tujuan mengobarkan api permusuhan di antara kedua orang tersebut.

Akhlaq tercela lainnya seperti riya’, hasad, ucapan keji, sombong, penyindir, pemalas, marah, kikir, bohong, tamak.

Mereka yang berakhlaq baik biasanya hatinya akan dicondongkan kepada ajaran agama. Mudah bagi mereka menerima nasihat, dan selalu melakukan evaluasi diri. Anak-anak yang tumbuh di tengah keluarga yang istiqamah mengerjakan perintah Allah SWT dan menghindari larangan-Nya insya Allah akan selalu dituntun-Nya dalam pendidikan dan kasih sayang-Nya.



Semoga bermanfaat

Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda note ini bermanfaat

Sumber : madinatulilmi
Shared By Catatan Catatan Islami Pages
Read More...

Pentingnya Shalat dan Doa ...Oleh Bawa Muhaiyaddeen

Rasulullah
Saw. bersabda yang artinya: “Barang siapa hafal tujuh kalimat, ia
terpandang mulia di sisi Allah dan Malaikat serta diampuni dosa-dosanya
walau sebanyak buih laut”
Tujuh Kalimah itu adalah:
1. Mengucap “Bismillah” pada tiap-tiap hendak melakukan sesuatu.
2. Mengucap “Alhamdulillah” pada tiap-tiap selesai melakukan sesuatu.
3. Mengucap “Astaghfirullah” jika lidah terselip perkataan yang tidak patut.
4. Mengucap “Insya Allah” jika merencanakan berbuat sesuatu di hari esok.
5. Mengucap “La haula wala quwwata illa billah” jika menghadapi sesuatu tak disukai dan tak diingini.
6. Mengucap “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” jika menghadapi dan menerima musibah.
7. Mengucap “La ilaha illallah Muhammadarrasulullah” sepanjang siang dan malam sehingga tak terpisah dari lidahnya.

Bismillahi minal Awwali wal Akhiri.....
Allaahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad. Allahumma shalli 'alaihi wa sallim wa adzhib hazana qalbiy fin-dunya wal-aakhirah.............

Bismillahir-Rahmanir-Rahim:
ANAK-ANAKKU, aku ingin menyampaikan pada kalian tentang maqam (tingkatan spiritual) dan ahwal (kedudukan)-ku. Aku datang ke dunia ini untuk melaksanakan doa, pemujaan dan meditasi dengan segala macam bentuknya, berbagai jenis zikir, tafakkur, shalat, salam dan shalawat. Aku sudah sangat tua, baik dalam pengalaman maupun dalam pemahaman. Usiaku sudah sangat, sangat tua.

Dulu sekali, ketika jumlah masjid masih sedikit, untuk mencapai masjid kadang kita harus berjalan kaki sejauh sepuluh sampai lima belas mil, hingga tibanya waktu Isya’. Untuk shalat Jum’at berjamaah (ke masjid yang menyelenggarakan shalat Jum’at—penerj.), kita harus mulai berjalan segera setelah Isya’ pada malam sebelumnya. Aku biasa berjalan sepuluh atau lima belas mil melewati hutan, berjalan kaki sepanjang malam untuk sampai di masjid pada jam satu atau jam dua pagi, agar bisa shalat subuh di sana. Lalu aku akan menunggu sampai tiba waktu shalat jum’at, lalu tetap di sana untuk shalat ashar dan shalat maghrib, lalu kembali berjalan pulang melewati hutan. Aku shalat seperti ini tanpa pernah kehilangan satu pun waktu shalat, selama delapan puluh tahun.

Maqam-ku ketika itu adalah maqam doa, dan semua perbuatanku tak ada satu pun yang tak diniatkan untuk Allah ta’ala. Setiap tindakanku adalah demi mencari Allah, dan keyakinanku tak ada lain selain hanya untuk menemui Allah. Tujuan hidupku hanyalah untuk bertemu Allah dan Rasul-Nya. Aku tak punya tujuan hidup yang lain. Niatku, tujuanku dan keyakinanku hanya itu saja, tak ada yang lain.

Selama delapan puluh tahun aku ada dalam keyakinan yang seperti itu. Aku duduk dari satu waktu shalat ke waktu shalat yang berikutnya, berzikir dan berdoa. Setiap kali aku memuji-Nya, aku bersujud setelahnya. Setelah setiap seratus pujian kepada-Nya, aku ruku’ dan sujud. Aku lakukan semua ini dengan duduk diam tanpa bergeser sedikit pun. Mengucapkan doa-doa adalah maqam-ku ketika itu, dan apa yang aku peroleh dari hal ini, yang aku dapatkan dari semua pujian dan pengagungan terhadap-Nya, dari semua ke-ahsan-an itu, aku memperoleh banyak sekali karomah, kekuatan-kekuatan dari Allah. Aku juga memahami bahwa bangsa jin dan peri pun memiliki kekuatan-kekuatan ajaib semacam itu.

Namun karena kekuatan-kekuatan itu pula, aku mendapatkan bangga diri dan kesombongan, ingin menunjukkan kemampuan-kemampuan itu. Pada akhirnya aku berkata, “Ya Allah, aku mencari Engkau, bukan semua ini.”

Lalu aku mengucapkan doa ini, doa kepada Allah, “Ya Rahman, yang paling pengasih pada hamba-hamba-Nya, selamatkan aku dari keadaan ini. Bukan aku yang seharusnya memegang kendali atas ciptaan-Mu. Engkaulah Tuhanku, ya Rahman, lindungi aku. Aku tidak datang ke sini untuk memperoleh semua ini. Ya Rahman, Engkau Tuhanku, dan tak ada tuhan selain Engkau. Engkaulah yang harus memberi keputusan dan melaksanakan ketetapan-Mu. Aku tidak datang ke sini sebagai hakim. Hanya Engkau yang sepenuhnya memahami urusan-urusan-Mu, Engkaulah penguasa segala sesuatu dan Engkaulah yang memahami semua ini hingga yang sekecil-kecilnya. Ampunilah aku, kendalikan amarahku, ambillah kembali kemampuan-kemampuan yang Kau berikan padaku itu. Akhirilah semua keajaiban dan tipuan yang mungkin berasal dariku. Tuntunlah aku ke jalan yang lurus, ke kebenaran. Aku hanya menginginkan Engkau, hanya Engkau, bukan yang lain. Aku tidak menginginkan semua kekuatan ini, kesaktian-kesaktian ini. Ya Rahman, yang paling pengasih, aku menginginkan sifat-sifat-Mu, tindakan yang berasal dari-Mu, perilaku yang berasal dari-Mu. Aku tidak menginginkan sifat-sifat dunia dan kemampuan-kemampuan duniawi, aku tidak menginginkan semua ini, ya Rahman.”

Itulah yang aku minta.

Aku dalam keadaan itu selama lima puluh tahun. Aku kerap pergi ke gua-gua di pegunungan dan diam di sana. Aku pergi ke berbagai tempat. Pernah selama sepuluh atau dua belas tahun aku duduk di dalam sebuah gua di pegunungan Jilan. Aku kerap duduk diam di berbagai tempat dan memohon kepada-Nya di sepanjang tahun-tahun itu.

Dengan melakukan ini ternyata aku mengenal Rahmaniyah-Nya, kasih sayang-Nya serta berbagai macam sifat dan keindahan dari kesabaran-Nya. Selama aku berdoa kepada-Nya, ketika melakukan dan memohonkan semua doa ini, aku tidak pernah melewatkan satu pun waktu shalat. Tak sedetik pun aku pernah lupa kepada-Nya. Tujuanku tidak pernah menyimpang dari-Nya, walau sesaat pun.

Ada banyak sekali cara pemujaan dan doa di dunia ini yang bisa kita lakukan. Aku telah menerima kalimah-kalimah dari Rasul (utusan—penerj.)-Nya, sehingga aku mampu berdoa kepada-Nya dengan kalimah-kalimah ini. Inilah yang harus aku kumpulkan untuk kehidupan barzakh-ku. Inilah ahwal-ku, kedudukanku, dan aku harus menyampaikan dengan terang apa-apa yang telah kupahami, apa yang telah kumengerti tentang Rabb-ku; sang raja, penguasa, penjamin serta pemeliharaku. Inilah yang telah aku kumpulkan untuk alam barzakh-ku. Rabb-ku ada di segalanya, ia adalah Rabb bagi seluruh alam-alam semesta, Rabb yang agung, yang sempurna dan kekal. Aku harus berbicara tentang ini. Inilah yang upayaku untuk kehidupan barzakh-ku. Rabb-ku memerintahkan aku untuk berbicara tentang kemuliaan-Nya, tentang sifat penyayang-Nya, dan menyampaikan kata-kata dari utusan-Nya. Dan aku harus menjelaskan, hingga batas pengetahuanku, apa yang telah kupahami kepada mereka yang lahir bersamaku, di masaku.

Aku harus menyampaikan semua ini di setiap nafasku, aku harus berkata dengan kata-kata Rabb-ku. Inilah wujud ibadah-tanpa-henti-ku, yang kuupayakan untuk kehidupan barzakh-ku. Tak boleh ada seorang pun yang tersakiti oleh penjelasan yang aku sampaikan mengenai Rabb-ku. Aku harus menyampaikannya, karena demikianlah yang telah kupersaksikan.

Saat ini, belum saatnya untuk menyampaikan pada anak-anakku tentang kemuliaan dan kasih sayang utusan-Nya yang telah kusaksikan. Kelak ketika kalian telah mampu memahaminya, aku akan menjelaskan ini kepada kalian. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang karena sesungguhnya sangat sulit untuk menjelaskan tingkatan ibadah yang seperti ini. Jika kalian ada dalam tingkatan di mana kalian bersama dengan Allah ta’ala, dan kalian lupa kepada-Nya meskipun sesaat, maka hanya Allah yang menjadi hakim kalian. Aku tidak pernah lupa kepada-Nya meskipun sesaat.

Rabb-ku memerintahkan aku, “lakukan apa yang harus kau lakukan, dalam kadar yang tepat.” Kemanapun aku memandang, aku melihat Rabb-ku, kemanapun kulayangkan pandanganku Dia-lah satu-satunya yang kulihat. Aku juga telah memiliki utusan-Nya dalam diriku, di dalam qalb-ku, dan Sang Ar-Rahman-ku, Dia yang Mahapengasih yang menjadi Rabb di seluruh semesta alam-alamku, Dia yang pandangan kepengampunan-Nya begitu lembut, tak pernah meninggalkanku sesaat pun. Tugasku adalah memohon kepada-Nya, karena aku harus mampu menghadapi pertanyaan-pertanyaan di alam barzakh-ku.

Inilah yang setiap kalian harus raih untuk diri kalian sendiri. Tak ada sesuatu pun yang layak menerima penyembahan selain Allahu ta’ala Nayan, Rabb-kita yang paling mulia, yang menjadi Tuhan kita. Tak ada seorang pun yang berkewajiban untuk menjelaskan ini semua kepada diri kalian, tak ada seorang pun yang harus menyampaikannya, yang harus merenungkannya, selain kalian sendiri. Setiap orang harus melakukan tugasnya sendiri. Seorang yang bijak harus mengenakan penutup yang menjaga agar ia terlindung dari pujian-pujian terhadap dirinya, namun seorang yang tak berakal akan melepas pakaiannya itu karena ia tak punya cukup pengalaman dan pengetahuan. Seorang bijak yang memiliki kemuliaan harus mengenakan penutup untuk menjaga kerendahhatian dan menutupi kemuliaan dirinya. Ibadah kepada Allah (yang spesifik untuk dirimu—penerj.) adalah hal yang harus kau raih untuk keadaanmu di alam barzakh.

Tak seorang pun yang bisa memberitahumu tentang hal itu. Ini adalah hukum yang telah digelar oleh Allah. Setiap kalian harus melakukannya sendiri, sehingga mampu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepadamu kelak di alam barzakh. Kalau kalian mengambil tugas orang lain, itulah yang sedang diupayakan syaithan (agar kalian sibuk mengerjakan tugas yang bukan tugasnya, sehingga melupakan misi hidupnya sendiri—penerj.). Masing-masing kalian harus siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan di alam barzakh masing-masing.

Tak ada sesuatu pun yang bisa diabdi selain Allah. Ibadah (ibadah sejati, ibadah spesifik = pengabdian—penerj.) adalah sesuatu yang harus dialami sendiri-sendiri, sebuah hal yang bersifat pribadi. Kalau kau memusingkan dirimu dengan cara ibadah orang lain, itu pekerjaan syaithan. Jika kau membicarakan (keburukan—penerj.) orang lain maka kau adalah syaithan, karena kau mengklaim untuk dirimu apa yang menjadi urusan-Nya. Jika kau menghakimi orang lain, maka kau adalah musuh-Nya.

Inilah yang aku alami, inilah yang harus kusampaikan kepada kalian, dan ini sungguh-sungguh terjadi. Semoga Allah melindungi kalian. Amin.

[Diterjemahkan dari M. R. Bawa Muhaiyaddeen, “The Tree That Fell to The West”, ‘The Importance of Prayer’ (XXIII : h. 135 – 137) oleh Herry Mardian, dengan tambahan perbaikan seperlunya].

Marilah Setiap detak-detik jantung.., selalu kita isi dengan..
Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini...



Vicky
Halaqah Sirrul Barokah

Subhanakallahumma wabihamdika AsyaduAllahilaha illa Anta Astagfiruka wa'atubu Ilaik ... Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Read More...

Video Gallery